Rabu, 06 Mei 2009

PKS Menikah.....?

Melihat judul di atas, mungkin di antara kita ada yg mengernyitkan dahi atau tersenyum penuh ketidakmengertian : 'Apa maksudnya PKS menikah? Apa hubungan antara PKS dengan pernikahan?' Oke, begini ceritanya...

Utsman ibn Affan pernah mengatakan : 'ALLAH Mengamanahkan kepada politik/kekuasaan hal-hal yg tidak dapat dilakukan oleh al Quran secara sendirian.' Dalam pernyataan ini terdapat 2 entitas, yaitu politik/kekuasaan dan al Quran. Dengan memahami isi pernyataan tersebut, penulis memahami bahwa klasifikasi bangunan Islam secara umum ada 2, yaitu iman dan 'amal shalih; iman diwakili oleh alQuran (bersama as Sunnah) dan 'amal shalih diwakili oleh politik. Iman bersifat teoritis-normatif-idealita, 'amal shalih bersifat praktis-positif-realita. Berarti, iman adalah setengahnya Islam dan 'amal shalih juga adalah setengahnya Islam; al Quran adalah setengah agama dan politik juga setengahnya agama. Kedua entitas ini merupakan satu kesatuan yg tidak terpisah. ALLAH Berfirman : 'ALLAH telah Berjanji kepada orang beriman dan beramal shalih bahwa mereka akan dijadikanNya berkuasa di muka bumi ini...'(Q.S. An Nur : 55). Kalau umat Islam tidak berkuasa/berpolitik, maka ajaran Islam tidak dapat diimplementasikan secara menyeluruh dan total. Oleh karena itulah Hasan al Banna menyatakan bahwa level/maqam/derajat ttertinggi kepribadian seorang muslim adalah menjadi seorang politisi. Dengan menjadi politisi, seorang muslim akan mengerahkan seluruh kemampuan dirinya.

Ketika dikatakan bahwa politik adalah setengahnya agama, mungkin kita akan 'protes' : 'Bukankah setengah agama itu adalah menikah?' Betul, penulis juga memahami, selama ini jika ada orang Islam menikah, maka kita anggap orang Islam tersebut telah menggenapkan setengah agama (din)-nya. Tapi, perlu diingat, di dalam Islam itu ada yg namanya domain fardhiyah (individu) dan domain jama'ah (kolektif). Nah, dalam konteks individu, setengahnya agama adalah menikah, dan dalam konteks jama'ah, setengahnya agama adalah politik dalam artian umat Islam memegang tampuk kekuasaan.

Kemudian, jika pemahaman di atas kita gunakan untuk 'membaca' PKS, maka penulis berpendapat bahwa PKS belum menikah, PKS belum berkuasa, alias masih bujangan. Dalam perjalanannya PKS telah 2 kali melakukan ta'aruf/perkenalan yg merupakan tahap awal pernikahan, yaitu ta'aruf politik/Pemilu 1999 dan Pemilu 2004. Tapi 2 kali itu pulalah PKS ditolak oleh pinangannya, karena syaratnya belum terpenuhi.

Di belahan bumi yg lain, 2 saudara kembar PKS, yaitu HAMAS dan AKP, telah berhasil menikah. HAMAS telah berhasil menikahi negara Palestina dengan meraup sekitar 57% suara merebut 76 kursi dari 132 kursi pada Pemilu Palestina 2006 (sebelumnya pada pemilu kota Ghaza HAMAS merebut 77 kursi dari 118 kursi dengan menguasai 7 wilayah dari 10 wilayah) . Adalet ve Kalkinma Partisi/ AKP (Partai Keadilan Pembangunan) berhasil menikahi negara Turki dengan meraup suara 46,7% merebut 340 kursi dari 550 kursi parlemen. AKP berhasil pula membina keluarga yg sakinah mawaddah warahmah dalam artian berhasil menjadikan Turki sebagai negara yg makmur dan sejahtera (inflasi menurun, investasi berkembang signifikan, pertumbuhan ekonomi mencapai 7%), bahkan berhasil pula memasukkan Turki ke dalam European Union. Sungguh, sebuah lompatan yg sangat menggembirakan sekaligus mencengangkan. Sedangkan untuk kasus HAMAS, meskipun telah memenangi Pemilu dengan hasil yg sangat fantastis, tetapi HAMAS belum berhasil membangun rumah tangga yg sakinah mawaddah wa rahmah. Setelah HAMAS berkuasa, keadaan sosial-ekonomi Palestina semakin merosot tajam. Hal ini terjadi karena faktor eksternal, yaitu tekanan pemerintahan Amerika, Inggris dan Israel yg tidak merestui pernikahan HAMAS, mereka mendelegitimasi kemenangan HAMAS. Juga karena faktor internal, yaitu faktor profesionalitas kader-kader HAMAS yg mungkin belum semuanya memenuhi standar untuk mengelola sebuah negara. Sampai-sampai Dr. Yusuf al Qaradhawy menghimbau HAMAS untuk menggalakkan 'jihad madani' yaitu jihad untuk membangun negara, tanpa melupakan 'jihad qital' melawan Zionis-Israel.

Selain 2 saudara kembar PKS tersebut, jangan lupa, ada IM di Mesir yg merupakan kakak kandung PKS, HAMAS, dan AKP. Nasib IM juga sama seperti PKS, belum menikah alias bujangan. Tapi, bedanya, PKS belum menikah karena syarat suara belum terpenuhi, sedangkan IM belum menikah bukan karena syarat belum terpenuhi, tapi mungkin, menurut penulis, menunggu adik-adik kandungnya menikah dahulu di berbagai negara termasuk PKS di Indonesia. Sebetulnya IM bisa menikah sekarang juga hanya dalam waktu singkat, karena meskipun IM organisasi terlarang tapi kader-kadernya menguasai berbagai elemen di Mesir. Masalahnya, jika IM menguasai Mesir sekarang, pasti pemerintahan Amerika, Inggris, Israel akan memberangusnya.

Nah, berarti pernikahan PKS sudah ditunggu-tunggu oleh kakak kandungnya dan saudara-saudara kembarnya yg lain. Insya ALLAH pada tahun 2009 besok PKS akan ta'aruf lagi. Karena sekarang PKS masih bujangan, masih banyak yg menjadi larangan, sama seperti orang yg belum menikah. Ketika nanti ta'arufnya diterima, maka PKS akan jadi pajangan di kursi pelaminan. Setelah itu yg 'jangan-jangan'/larangan tadi akan menjadi hilang, yang tinggal adalah 'pa' dan 'bu', sah menjadi 'ba-pak' dan 'i-bu'. Jadi bu-jangan dulu, terus menjadi pa-jangan, setelah itu 'jangan-jangan'-nya hilang, menjadi 'bapak-ibu'. Mudah-mudahan tercapai.

Penulis berharap, pernikahan/kemenangan PKS nanti merupakan kombinasi positif kemenangan HAMAS dan AKP. Kalau HAMAS berhasil meraup suara di atas 50%+1, tapi profesionalitas pengelolaan negaranya belum menggembirakan. Sedangkan sebaliknya, AKP meskipun menang, hanya meraup suara di bawah 50%, tapi profesionalitas pengelolaannya negaranya sangat menggembirakan. Nah, kita harapkan, kemenangan PKS nanti meraup suara lebih dari 50%+1 seperti HAMAS, dan profesionalitas pengelolaannya sangat menggembirakan seperti AKP. Ini bukan khayalan, karena harapan itu masih ada. Sekarang PKS bertekad : 'Indonesia, akan kupinang engkau dengan keadilan.' (a2i)


Link: http://auliaagusiswar.multiply.com/journal/item/54/PKS_Menikah...

Baca selengkapnya »»

Senin, 30 Maret 2009

Tarbiyah Siyasiyyah

Tarbiyah siyasiah yang bermakna pendidikan atau pembinaan politik adalah sangat urgent dipahami oleh setiap muslim. Karena pemahaman politik yang sejatinya, tidak sama dengan pemahaman selama ini dalam ilmu politik secara umum, yaitu berpolitik yang hanya dimaksudkan untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Akan tetapi kita berpartisipasi dalam politik untuk menegakkan nilai-nilai kebenaran ilahiah dan memperjuangkan kepentingan masyarakat. Berkuasa untuk melayani umat, dan memimpin untuk memperbaiki sistem yang tidak berpihak kepada nilai-nilai kebaikan dan kebenaran.

Oleh karenanya, seluruh aktivitas yang berkaitan dengan gerakan berpartai dan berpolitik, disebut dengan “Jihad Siyasi” (Perjuangan Politik). Dalam bahasa Imam Hasan Al-Banna, perjuangan ini dikatagorikan dalam marhalah “rukun amal” yang disebut “Ishlahul Hukumah” (Perbaikan Pemerintahan).

Keberhasilan dan kesuksesan berpolitik atau jihad siyasi harus berimpact kepada dimensi kehidupan yang lain. Harus berimpact kepada dunia pendidikan dan dakwah. Yang berujung kepada pencerdasan anak bangsa dan pencetakan generasi rabbani. Harus berimpact kepada dunia ekonomi dan sosial budaya. Yang berakhir kepada pemeliharaan aset-aset negara dan pendayagunaan kepada masyarakat yang lebih luas. Begitu juga mampu memelihara identitas atau jati diri bangsa yang bertumpu pada pondasi spirituil dalam aspek sosial budaya.

Seruan dan anjuran kepada umat Islam untuk kembali ke barak atau ke dunia dakwah saja dengan pemahaman yang sempit, karena alasan bahwa dunia politik adalah dunia “rawan dan beranjau”, dunia yang sarat dengan kebohongan, ketidak jujuran, khianat, gunjing-menggunjing, halal menjadi haram, haram menjadi halal, atau menyetujui demokrasi yang merupakan produk Barat, adalah sebuah seruan kemunduran dalam berdakwah. Bukankah seruan ini seperti orang yang mengatakan dulu: “Islam Yes, Politik No”. Sebuah adigium yang dulu merupakan musuh bersama umat Islam dan da’i yang mengajak kembali manusia kepada Islam secara kaffah atau komprehensif.

Dan bila ada sebagian kader yang tergelincir dan terjerumus dalam permainan sistem yang destruktif negatif, maka tugas umat, organisasi massa Islam atau organisasi politik Islam untuk menyiapkan sarana dan prasarana agar setiap yang terjun ke dunia politik tetap istiqamah dalam menjalankan amanah yang dibebankan kepadanya dan tetap menjaga integritas diri.

Baina Ad-Dakwah Was Siyasah

Apakah ada pertentangan antara dakwah dan siyasah atau politik?. Jawaban pertanyaan ini akan menyelesaikan kerisauan dan kegamangan kita dalam melakukan kerja-kerja dakwah selanjutnya yang bersinggungan dengan dunia politik dan langkah meraih kemenangan “Jihad Siyasi” dalam perhelatan pemilihan wakil-wakil rakyat dan pemimpin negeri ini.

Ayat di atas dan pengertian Islam yang didefinisikan oleh Imam Hasan Al Banna di bawah ini adalah dalil yang menunjukkan tentang titik temunya amal da’awi dan amal siyasi dalam bingkai keislaman. Jadi tidak ada samasekali pertentangan antara dunia Dakwah dengan dunia Politik. Coba kita renungkan pernyataan Beliau dalam “Risalatut Ta’lim”:

الإسلامُ نِظَامٌ شَامِلٌ يَتَنَاوَلُ مَظَاهِرَ الحَيَاةِ جَمِيْعًا فهو دَوْلَةٌ وَوَطَنٌ أَوْ حُكَُوْمَةٌ وَأُمَّةٌ، وَهُوَ خُلُقٌ وَقَوَّةٌ أَوْ رَحْمَةٌ وَعَدَالَةٌ، وَهُوَ ثَقَافَةٌ وَقَانُوْنٌ أَوْ عِلْمٌ وَقَضَاءٌ، وَهُوَ مَادَّةٌ وَثَرْوَةٌ أَوْ كَسْبٌ وَغَِنىً، وَهُوَ جِهَادٌ وَدَعْوَةٌ أَوْ جَيْشٌ وَفِكْرَةٌ، كَمَا هُوَ عَقِيْدَةٌ صَادِقَةٌ وَعِباَدَةٌ صَحِيْحَةٌ سَوَاءٌ بِسَوَاءٍ

“Islam adalah nidzam (aturan) komprehensif yang memuat seluruh dimensi kehidupan. Ia adalah daulah dan tanah air atau pemerintahan dan ummat, ia adalah akhlak dan kekuatan atau rahmat dan keadilan. Ia adalah tsaqafah (wawasan) dan qanun (perundang-undangan) atau keilmuan dan peradilan, ia adalah materi dan kesejahteraan atau profesi dan kekayaan. Ia adalah jihad dan dakwah atau militer dan fikrah, sebagaimana ia adalah aqidah yang benar dan ibadah yang shohih ( benar).”

Dakwah yang bertujuan menyeru manusia untuk kembali kepada nilai-nilai Islam secara komprehensif bisa dilakukan oleh kader di manapun ia berada dan apapun profesinya. Apakah ia seorang ekonom, pengusaha, pendidik, teknokrat, birokrat, petani, buruh, politikus (aleg) dan eksekutif (menetri) bahkan seorang presiden sekalipun. Jadi dakwah bukan suatu yang antagonis dengan dunia politik, akan tetapi dunia politik merupakan salah satu lahan dakwah.

Semoga tulisan singkat ini mampu memberi energi baru dan gelora semangat bagi kita umat Islam untuk menguatkan persatuan dan kesatuan untuk menuju Indonesia yang lebih baik, yang diridhoi Allah swt. menuju “Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur.” Allahu Akbar Walillahi alhamdu.

Baca selengkapnya »»

Tanpa terasa, kita kian jauh dari keteladanan Rasul dan para sahabat



Pergaulan hidup antar manusia memunculkan tarik-menarik pengaruh. Saat itulah, tanpa terasa, terjadi pertukaran selera, gaya, kebiasaan, dan perilaku. Semakin luas cakupan pergaulan, kian besar gaya tarik menarik yang terjadi.



Masalahnya, tidak selamanya stamina seseorang berada pada posisi prima. Kadang bisa surut. Ketika itu, ia lebih berpeluang ditarik daripada menarik. Tanpa sadar, terjadi perembesan pengaruh luar pada diri seseorang. Pelan tapi pasti.

Suatu saat, orang tidak merasa berat hati melakukan perbuatan yang dulunya pernah dibenci. Dan itu bukan lantaran keterpaksaan. Tapi, karena adanya pelarutan dalam diri terhadap nilai-nilai yang bukan sekadar tidak pernah dicontohkan Rasul, bahkan dilarang. Sekali lagi, pelan tapi pasti.

Anas bin Malik pernah menyampaikan sebuah ungkapan yang begitu dahsyat di hadapan generasi setelah para sahabat Rasul. Anas mengatakan, “Sesungguhnya kamu kini telah melakukan beberapa amal perbuatan yang dalam pandanganmu remeh, sekecil rambut; padahal perbuatan itu dahulu di masa Nabi saw. kami anggap termasuk perbuatan yang merusak agama.” (Bukhari)

Tanpa terasa, kita jadi begitu asing dengan Islam

Pelunturan terhadap nilai yang dipegang seorang hamba Allah terjadi tidak serentak. Tapi, begitu halus: sedikit demi sedikit. Pada saatnya, hamba Allah ini merasa asing dengan nilai Islam itu sendiri.

Ajaran Islam tentang ukhuwah misalnya. Kebanyakan muslim paham betul kalau orang yang beriman itu bersaudara. Saling tolong. Saling mencintai. Dan, saling memberikan pembelaan. Tapi anehnya, justru nilai-nilai itu menjadi tidak lumrah.

Semua pertolongan, perlindungan, pengorbanan kerap dinilai dengan kompensasi. Ada hak, ada kewajiban. Ada uang, ada pelayanan. Tiba-tiba seorang muslim jadi merasa wajar hidup dalam karakter individualistik. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan, seorang dai merasa enggan berceramah di suatu tempat karena nilai bayarannya kecil. Sekali lagi, tak ada uang, tak ada pelayanan.

Firman Allah swt. “Dan sesungguhnya jika Kami menghendaki, niscaya Kami lenyapkan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, dan dengan pelenyapan itu, kamu tidak akan mendapatkan seorang pembela pun terhadap Kami, kecuali karena rahmat dari Tuhanmu….” (Al-Isra’: 86-87)

Tanpa terasa, kita tak lagi dekat dengan Allah swt.

Inilah sumber dari pelunturan nilai keimanan seorang hamba. Kalau orang tak lagi dekat dengan majikannya, sulit bisa diharapkan bagus dalam kerjanya. Kesungguhan kerjanya begitu melemah. Bahkan tak lagi punya nilai. Asal-asalan.

Jika ini yang terus terjadi, tidak tertutup kemungkinan, ia lupa dengan sang majikan. Ketika seorang hamba melupakan Tuhannya, Allah akan membuat orang itu lupa terhadap diri orangnya sendiri. Ada krisis identitas. Orang tak lagi paham, kenapa ia hidup, dan ke arah mana langkahnya berakhir.

Maha Benar Allah dalam firman-Nya, “Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (Al-Hasyr: 19)

Baca selengkapnya »»

Rumus Kemenangan

Saudaraku, faktor kemenangan jama’ah dakwah ini tidak terletak pada kehebatan kita menyusun kalimat retorika, ketersediaan dana yang besar dari kantong-kantong ikhlas kita, ataupun kerja-kerja keras kita yang patut diacungi jempol…

Mengapa? Karena semua faktor di atas boleh jadi dimiliki oleh musuh-musuh dakwah. Mereka boleh jadi lebih piawai beretorika daripada kita. Mereka boleh jadi mempunyai dana yang luar biasa. Bahkan mereka boleh jadi pula lebih gigih berjuang ketimbang kita…

Renungkanlah wahai saudaraku yang tulus ikhlas berjuang karena Allah…
Ada sebuah keutamaan yang kita miliki dari mereka. Kita memiliki iman di dada sementara mereka tidak. Kita berjuang di jalan Allah sedangkan mereka berjuang di jalan taghut. Inilah faktor utama penyebab kemenangan dakwah melalu tangan-tangan kita. Keimanan yang telah tertanam kuat di jiwa kita akan melahirkan semangat kerja dakwah yang tinggi, slogan sundiquna juyubuna pun akan semakin hidup dan nyata. Dengan keimanan pula kelembutan ajakan dakwah akan semakin mempesona para pendengarnya. Saat ini kita menunggu saat kemenangan tiba namun iman di dada kita masih tipis…????!!!! Apakah Allah bersedia memberi kita kemenangan?

Mari bermuhasabah dan menjawab pertanyaan di atas dalam diri kita masing-masing…, ikhwatiy, hayya najlis ma’ana nu’minu saa’atan…

Baca selengkapnya »»

blogger templates | Make Money Online