Rabu, 15 Oktober 2008

Estanislao Soria, Pendeta Katolik Filipina yang Menemukan Cahaya Islam


Selasa, 14 Okt 2008 17:25
Soria melakukan riset sejarah dan sosial serta membaca artikel-artikel tentang Islam, untuk memperkuat argumennya menolak tuntutan gerakan Moro yang ingin menjadikan Mindanao sebagai tanah air bagi Muslim Filipina. Tapi siapa nyana, artikel-artikel tentang Islam yang ia baca, justru membawanya menjadi seorang Muslim.

Ketika tokoh Muslim Moro, Nur Misuari menyatakan wilayah Mindanao harus memisahkan diri dari Filipina dan menjadi negara Islam, Estanislao Soria menjadi orang yang paling menentang keinginan Misuari.

Sebagai seorang tokoh agama Katolik yang lahir di Mindanao, ia menolak keras jika tanah kelahirannya diambil alih oleh orang-orang Muslim.

"Saya sangat tidak setuju dengan Misuari dan saya memelopori kampanye menentang gerakan Moro," kata Soria yang populer di panggil "Father Stan". Ketika itu, selain dikenal sebagai pendeta Katolik, Soria juga dikenal sebagai seorang sosiolog.

Sebagai seorang cendikiawan, ia tidak mau sembarangan menyatakan ketidaksetujuannya terhadap keinginan Misuari. Soria pun melakukan riset sejarah dan sosial serta membaca artikel-artikel tentang Islam, untuk memperkuat argumennya menolak tuntutan gerakan Moro yang ingin menjadikan Mindanao sebagai tanah air bagi Muslim Filipina. Tapi siapa nyana, artikel-artikel tentang Islam yang ia baca, justru membawanya menjadi seorang Muslim.

"Sebagai orang yang memahami bahasa Latin, Yunani dan Yahudi, saya pikir saya bisa mempelajari bahasa Arab dengan mudah. Saya juga ingin menerjemahkan tulisan-tulisan berbahasa Arab ke bahasa Inggris dan menerjemahkan ideologi-ideologi Barat, misalnya ideologi eksistensialisme, ke dalam bahasa Arab. Tapi saya menyadari, ini adalah pekerjaan yang sulit," kata Soria seperti dikutip dari Islamonline.

Ketika itu Soria meyakini, dengan banyak menerjemahkan artikel-artikel tentang ideologi Barat ke dalam bahasa Arab, akan membuat Muslim di Mindanao menghargai ajaran Kristen daripada ajaran Islam. "Saya ingin membuka wawasan berpikir mereka tentang kekristenan karena saya banyak mendengar hal-hal negatif tentang Muslim. Saya berpikir, mereka (Muslim) harus dididik," ungkap Soria.

Tapi semakin ia mendalami bacaan-bacaanya tentang kekristenan, ia makin menyadari bahwa tokoh-tokoh gereja seperti Saint Thomas Aquinas ternyata banyak belajar dari buku-buku bacaan dan ajaran Islam. Begitu juga ideologi-ideologi dan ilmu teologi yang disebut-sebut sebagai berasal dari Barat, ternyata sudah sejak lama dibahas dalam Islam.

"Dari bacaan-bacaan itu saya mendapat pencerahan bahwa pemikiran-pemikiran tentang peradaban Barat banyak banyak yang mengambil dari ajaran-ajaran Islam. Dan setelah saya membaca lebih banyak lagi buku-buku yang ditulis pakar agama Islam, pandangan saya terhadap Islam seketika berubah," papar Soria.

"Saya bahkan menyadari bahwa Injil Barnabas lebih kredibel dibandingkan dengan keempat injil yang dibawa oleh ajaran evangelis termasuk injil Kristen. Dari hasil riset sosiologi yang saya lakukan, saya juga banyak menemukan bahwa hal-hal negatif yang sering saya dengar tentang Muslim Filipina ternyata tidak benar," tambah Soria.

Akhirnya, pada tahun 2001, Soria yang telah mengabdikan dirinya selama bertahun-tahun sebagai pendeta di berbagai kota di Manila, menyatakan diri masuk Islam. Setelah mengucap syahadat, ia mengganti namanya menjadi Muhammad Soria. Meski demikian, masih banyak orang, termasuk teman-temannya yang Muslim memanggilnya "Father Stan."

Soria yang kini berusia 67 tahun mengatakan, ia mendapat hinaan dan kecaman dari kerabat dan rekan-rekan gerejanya ketika memutuskan menjadi seorang Muslim. Namun hinaan dan kecaman itu tidak membuatnya berat menanggalkan aktvitas kependetaan yang sudah dijalaninya selama 14 tahun dan membuatnya mantap untuk memeluk Islam.

Seiring perjalanan waktu, Soria mulai terbiasa menjalani kewajiban-kewajibannya sebagai seorang Muslim. Bagi Soria, Islam bukan sekedar agama tapi sudah menjadi jalan hidupnya. Selama tujuh tahun menjadi seorang Muslim, Soria sudah lima kali menunaikan ibadah haji, menjadi anggota Gerakan Dakwah Islam di Filipina dan tahun 2004 menikah dengan seorang perempuan berusia 24 tahun, setelah sebelumnya menjalani hidup membujang sebagai pendeta Katolik.

"Dalam Islam, kita diajarkan, jika bisa mendisplinkan diri kita, Sang Pencipta akan mengabulkan harapan-harapan kita," tandas Soria.

Menurut Soria, jika ada satu hal yang harus dicontoh umat Islam dari orang-orang Kristen adalah, gerakan mereka yang terorganisir dan terstruktur dengan sangat rapi. "Dengan memiliki struktur yang kuat seperti yang dimiliki kalangan Kristiani, akan mempermudah penyebaran Islam," kata Soria.

Salah satu cara untuk memperkuat struktur umat Islam, tambah Soria, Muslim harus membangun universitas-universitas di seluruh dunia seperti yang dilakukan kelompok misionaris Kristen di berbagai belahan dunia. (ln/iol)
http://eramuslim.com/

Baca selengkapnya »»

Hawa Yilmaz, Memperjuangkan Jilbab di Turki


Rabu, 15 Okt 2008 16:21
Dengan sikap relijius dan rasa percaya dirinya yang tinggi, Yilmaz mulai menemukan jalan untuk ikut serta dalam aktivitas-aktivitas politik dan hak asasi di negaranya. Ia ikut mengkampanyekan agar kampus-kampus mengizinkan mahasiswinya mengenakan jilbab.

Meski pernah menjadi pusat kekhalifahan Islam, di negara sekular Turki isu-isu agama menjadi isu yang sangat sensitif, termasuk isu jilbab. Namun bagi Muslimah-Muslimah Turki yang memiliki keimanan yang teguh, jilbab tetap mereka gunakan meski resikonya mereka tidak bisa kuliah di perguruan tinggi. Para Muslimah itu juga tak lelah memperjuang hak berjilbab di negeri yang mayoritas penduduknya Muslim itu.
Hawa Yilmaz, tidak pernah menyesali keputusannya mengenakan jilab ketika ia berusia 16 tahun. Meski ketika itu belum tidak menyadari, bahwa keputusannya itu akan membawa perubahan pada dirinya. Sebuah keputusan yang kemudian membawanya menjadi seorang Muslimah yang ikut memperjuangan hak-hak berjilbab bagi Muslimah di negerinya, Turki.

Seperti kebanyakan remaja umumnya, Yilmaz merasa bingung dengan karakter dan jati dirinya. Ia merasa tidak ada ketulusan dan penuh kepura-puraan dalam hidup ini. Hingga ia memutuskan untuk mengenakan jilbab.

"Setelah saya mengenakan jilbab, saya akhirnya menemukan jati diri saya," kata Yilmaz

Namun, seiring dengan bertambahnya usia, Yilmaz menemui banyak kendala yang dihadapinya karena ia berjilbab. Terutama ketika ia ingin melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi karena Turki melarang Muslimah mengenakan jilbab di sekolah maupun universitas. Orangtua Yilmaz sangat marah ketika ia keluar dari sekolah. Tapi Yilmaz tidak mau menuruti aturan sekolah yang mengharuskannya melepas jilbab.

Keluar dari sekolah, Yilmaz yang tetap berjilbab ikut dalam kelompok pembaca filosofi politik dan banyak mempelajari pemikiran dan buku-buku yang ditulis para pemikir serta filsuf Barat yang terkenal. Yilmaz juga mengambil kelas sosiologi di sebuah lembaga pendidikan. Dengan sikap relijius dan rasa percaya dirinya yang tinggi, Yilmaz mulai menemukan jalan untuk ikut serta dalam aktivitas-aktivitas politik dan hak asasi di negaranya. Ia ikut mengkampanyekan agar kampus-kampus mengizinkan mahasiswinya mengenakan jilbab.

Ketika Partai Pembangunan dan Keadilan (AK)-partai yang sekarang berkuasa di Turki-mengajukan draft undang-undang untuk melindungi hak berjilbab, Yilmaz dan dua orang sahabatnya ikut long-march ke Istanbul untuk mendukung draft tersebut.

"Rasa menyakitkan saat kita mengalami situasi dimana pintu-pintu universitas dengan kasar ditutup tepat di muka kita, mengajarkan kami satu hal, bahwa problem kita yang sesungguhnya adalah mental melarang, sikap mental yang merasa punya hak untuk mengintervensi kehidupan orang lain," ujar Yilmaz.

Pernyataan-pernyataan Yilmaz dan dua rekannya yang menyentuh, membuat ketiganya kerap diundang dalam program talk-show di televisi dan diwawancarai oleh koran dan radio.

Yilmaz, adalah sosok muda yang mulai banyak tumbuh di Turki, yang buka semata-mata memperjuangkan Islam. Mereka adalah anak-anak muda yang menuntut persamaan hak untuk semua kelompok minoritas. Yilmaz dan rekan-rekannya membentuk organisasi Young Civilians, sebuah kelompok yang mengkritisi isu-isu nasional di Turki, misalnya sikap Turki terhadap kelompok minoritas Kurdi di negeri itu.

Meskipun kampanye jilbab belum sukses, Yilmaz menyatakan tidak akan pernah menyerah. "Apa yang kita lakukan adalah sesuatu yang berharga. Banyak orang yang mendengar suara kita. Jika kita bekerjasama, kita bisa memperjuangkannya," tandas Yilmaz.

Seperti diketahui, bulan Juni kemarin, pengadilan tertinggi di Turki menganulir undang-undang yang telah dimenangkan Partai Pembangunan dan Keadilan. Dengan adanya undang-undang itu, seharusnya sekolah dan universitas-universitas di Turki mencabut larangan berjilbab. Tapi setelah undang-undangnya dianulir atas tuntutan kelompok sekuler di Turki, larangan berjilbab tetap diberlakukan. Perjuangan para aktivis jilbab di Turki pun nampaknya masih panjang. (ln/iol)
http://eramuslim.com/

Baca selengkapnya »»

blogger templates | Make Money Online